Diferensiasi dan Niche Market

Slogan “change or die” tidak asing buat masyarakat proxsis. Dalam ilmu strategic management, ada differentiation. Upaya untuk membedakan diri para pesaing agar suatu bisnis sustain dan berkelanjutan. Menjadi differentiated dengan kualitas tertentu akan mendapat apresiasi dari pasar. Oleh karena itu rekan2 marketing perlu mencari atau mengembangkan faktor pembedanya agar sukses.

Namun sayangnya, atau… untungnya, diferensiasi itu hanya butuh kreatifitas dan upaya lebih. Kenapa saya bilang “untungnya”? Karena umumnya orang lain malas berupaya. Jadi anda hanya perlu upaya sedikit saja, maka anda akan berbeda.

Menjadi berbeda, bisa membanggakan dan menyenangkan. Tak perlu pujian dari semua orang. Tapi akan ada niche market atau ceruk pasar yang akan mengapresiasi diferensiasi kita sebagai sesuatu yang unik dan antik. Sekali lagi, dengan upaya dan kemampuan membidik niche market yang tepat.

Ada sepenggal kisah lain untuk ilustrasi.

Waktu kecil, aku tak gemar berolahraga. Nol prestasi kalau urusan fisik. Pernah belagu ikutan lomba lari 17-an, hasilnya: urutan paling belakang ditambah luka di lutut karena harus acting jatuh sebelum garis finish agar ada alasan kalah karena jatuh dan supaya dapat simpati (meskipun gak ada yang melirik).

Suatu ketika, ada kegiatan selama beberapa hari di kampung dalam rangka bulan bakti LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa). Ya, zaman orba banyak kali lembaga2 desa2 seperti ini. Gak tau kalau sekarang masih ada apa enggak. Selama bulan bakti ini, ada beberapa perlombaan. Hanya satu yang bisa kuikuti. Itu pun karena diminta oleh Kepala Lingkungan setempat untuk mewakili lingkungan kami (di Medan, wilayah lingkungan itu mungkin sama dengan RW kalau di Jakarta). Lomba cerdas cermat al-qur’an. Waktu itu aku masih bersekolah di madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) kelas satu. Mungkin Pak KepLing mikir aku bisa “dikorbankan” agar lingkungan kami tidak ada yang absen dalam semua program. Pak KepLing ini tetanggaku. Jadi beliau tau persis bahwa aku dianggap cukup representatif karena setiap hari melihatku pakai peci kalau sekolah.

Singkat cerita, aku bersama dua temanku sepengajian di kampung, mengadu nasib. Maklum, kami tak berani mengadu nasib di pertandingan lain. Kami sadar bahwa kami the loser kalau urusan lain. Saat pertandingan, aku merasa tertipu. Karena aku harus melawan tim dari desa lain yang mengirimkan mahasiswa. Mahasiswa IAIN pulak. Bah! Apanya panitia ini? Masak tak ada kriteria usia!

Tentu saja aku tak bisa protes. Perlombaan tetap kami ikuti. Untunglah dulu aku anak sholeh. Mujur selalu nasibnya. Setelah pertandingan yang tak mengeluarkan keringat itu, kami berhasil dapat peringkat dua. Senangnya bukan main! Bukan hanya karena kami yang paling culun dan paling junior, tapi karena lingkungan kami tak ada memenangkan pertandingan yang lain. Otomatis kami bisa pulang dengan parade kemenangan…

Parade dengan bersepeda. Berboncengan. Dan melilitkan hadiah juara dua pertandingan itu di kepala kami. Ya, panitia desa memang kacau, karena hadiahnya adalah tiga helai kerudung putih berenda! Kami tak peduli. Kami senang bisa diapresiasi karena differentiated.

Pulang habis isya, dengan kerudung putih berenda kemenangan kami…

Fahmi Munsah, ST.MBA, Chairman of Proxsis Sustainability

Whoops, you're not connected to Mailchimp. You need to enter a valid Mailchimp API key.

Inquiry