Mengapa Harga Minyak Rendah Adalah Momentum Melakukan Lean Transformation di Industri Migas?

Harga minyak dunia yang terus-menerus turun telah membuat hampir semua perusahaan migas berjuang keras memastikan kelangsungan bisnis mereka. Berbagai upaya penghematan telah dilakukan mulai dari pemangkasan biaya, melakukan evaluasi kontrak, bahkan di beberapa negara sudah pada tahap melakukan pengurangan karyawan. Tujuannya, tentu saja adalah survival!

When an industry were booming, inefficiencies mushroomed; when the cycle reversed, it is time to get fit! Get Lean!

Walaupun situasi ini sangat memprihatinkan, namun ada opportunity besar yang muncul jika kita bisa mencoba melihat dari horison waktu yang lebih panjang.Harus diakui, industri migas bukanlah industri yang dikenal efisien.Sektor ini lebih dikenal sebagai sektor yang menghasilkan profitability tinggi dan didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa karena kapital yang diperlukan sangatlah besar mengingat investasi industri migas memerlukan aset, tool, sumber daya manusia, dan teknologi yang luar biasa masif.

Para pakar efisiensi sering mengandaikan sektor-sektor dengan profitability yang tinggi bagaikan kapal-kapal yang berlayar di air laut yang sedang pasang dimana inefisiensi adalah karang-karang di dasar laut. Dalam situasi laut pasang, karang-karang itu tidak akan terlihat dan tidak mengganggu. Di saat surut, baru terlihat bagaimana karang-karang inefisiensi itu mengganggu bahkan bisa membuat sebuah kapal karam.

Dengan kata lain, opportunity yang ada  saat harga minyak menukik turun adalah mencoba untuk merekayasa ulang desain proses bisnis industri migas. Dengan harga minyak di angka $30 per barel (atau malah kurang), perusahaan migas perlu melakukan transformasi total. Menurut saya salah satu yang bisa dilakukan adalah mencoba dengan mengaplikasikan konsep Lean secara fundamental, bukan hanya pada aplikasi tool saja.

Implementasi Lean di dunia migas saat ini

Saya pernah bekerja sekitar tujuh tahun di industri migas, dan sekarang ini bekerja sebagai konsultan implementasi Lean-Six Sigma yang antara lain menangani perusahaan migas. Dari sini saya mempunyai cukup informasi untuk mengatakan bahwa konsep Lean sudah cukup lama dipelajari, dicoba serta, diimplementasikan di dunia migas.

Namun jika dibandingkan dengan adaptasi dan perkembangan Lean management di dunia otomotif, elektronika, atau industri pesawat terbang, implementasi Lean di industri migas masih bisa dikatakan berada di tataran implementasi tool (misalnya penggunaan Value Stream Mapping dalam skala kecil, aplikasi kanban untuk inventory, penerapan quick change over untuk proses rig up di drilling) akan tetapi belum menggunakan filosofi Lean secara fundamental untuk membuat proses bisnis yang efisien, aman, dan lincah agar selalu kompetitif.

Ada beberapa faktor yang menurut saya pribadi menjadi penyebab lambatnya adopsi total konsep Lean di industri migas:

1. Profit yang tinggi (di masa lalu): seperti disampaikan sebelumnya, perusahaan migas pada umumnya mempunyai skala raksasa yang mampu melakukan investasi sangat besar dengan profit yang juga besar. Pemain di sektor ini tidak terlalu banyak sehingga kompetisi tidak ketat seperti sektor otomotif atau consumer goods. Dalam industri seperti ini, pemain biasanya tidak terlalu terpacu untuk melakukan efisiensi total. Oleh karenanya, di saat profit margin makin tergerus harus kita manfaatkan untuk menjadi momentum melakukan efisiensi secara fundamental.

2. Mental barrier: ada mind set yang terlalu terpaku pada pandangan bahwa sistem manajemen yang berasal dari industri otomotif (lebih spesifik perusahaan mobil Toyota) ini tidak cocok di dunia migas. Pola pikir ini menyebabkan adaptasi Lean di dunia migas tidak secepat adopsi di dunia manufaktur pesawat, keuangan, kesehatan/rumah sakit dan bahkan startup. Sebagai catatan, semua industri di luar otomotif selalu mengalami barrier ini pada awal implementasi namun dalam perjalanan waktu akan mulai terjadi adopsi cepat begitu intisari dan insight yang tepat ditemukan sesuai konteks masing-masing industri. Saat ini, ada beberapa perusahaan dalam dunia migas mulai menemukan pola adaptasi yang pas untuk implementasi Lean Management ini karena sudah mempelajari dan melakukan implementasi lebih dari tujuh tahun.

3. Complexity & deep knowledge requirement in oil-gas industry : perusahaan-perusahaan migas para umumnya mengelola proses yang sangat kompleks yang memerlukan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat spesifiik. Mereka mempunyai ahli-ahli geologi, earthscientist, pakar pengeboran, pakar tangki, insinyur pemipaan dan berbagai pakar lain yang memerlukan kualifikasi dan spesialisasi tinggi. Kondisi ini menyulitkan adopsi Lean Management terutama karena kebanyakan konsultan implementasi Lean datang dari sektor di luar migas dan tidak terlalu memahami betapa spesifik dan rumitnya proses pengelolaan minyak bumi dan gas. Teknologi yang unik dan canggih membawa industri migas kepada spesialisasi yang makin dalam layaknya pulau-pulau yang terpisah laut. Sayangnya, itu tidak diiringi pemahaman yang makin baik tentang bagaimana integrasi dan sinkronisasi antar fungsi bisa makin maju sehingga ada jembatan yang menghubungkan antar pulau. Yang menjadi angin segar dalam isu ini adalah makin banyaknya engineer atau ilmuwan di lingkungan migas yang makin memahami intisari ajaran Lean. Ini sangat mendorong kemungkinan keberhasilan untuk melakukan perubahan dalam proses bisnis migas.

4. Faktor geografis dan lokasi: ini salah satu tantangan yang sering diucapkan para pelaku industri migas bahwa konsep Lean tidak bisa diimplementasikan karena dalam dunia perminyakan atau pertambangan tidak bisa dibuat konsep assembly line atau cell production. . Awalnya saya mengakui kesulitan ini, namun dengan pemahaman yang makin baik terhadap intisari Lean serta dengan tumbuhnya teknologi yang mendukung virtual collaboration tool, justru mengatasi hal ini menjadi salah satu terobosan utama dalam transformasi industri migas.

5. Pola hubungan perusahaan migas baik secara internal dalam satu perusahaan maupun dengan pihak eksternal: Bagi saya pribadi,tantangan terbesar untuk melakukan terobosan dalam dunia migas di Indonesia adalah faktor ini.

Ada dua bagian disini.Yang pertama, kebanyakan perusahaan migas dibagi dalam organisasi yang berdasarkan expertise-nya: Drilling, Well Work, Sub Surface, Surface facility, Supply Chain Management, Capital Project, IT, Human Resource/Human Capital, Health Safety Environment (HSE), dan banyak departemen lain. Terpengaruh oleh faktor no 3 di atas, relatif dibanding industri lain, perusahaan migas memiliki kedalaman ilmu/skill dalam satu departemen namun sering tidak bekerja secara mulus dalam sebuah rangkaian aktivitas yang melibatkan interaksi antar departemen. Misalnya rantai informasi dan aktivitas dari Drilling-Well Work-Sub Surface-Surface banyak yang tidak terjadi secara mulus. Dalam contoh kasus dibawah, saya akan menggunakan contoh proses POP (Put on Production) untuk menggambarkan hal ini.

Yang kedua, ada konsekuensi dari pola hubungan di atas pada pola hubungan antara sebuah perusahaan migas dengan pihak eksternal. Kuatnya expertisedalam sebuah departemen, membuat sinkronisasi dan koordinasi dengan departemen lain tidak terjalin dengan rapat. Nah, apalagi dengan pihak eskternal, misalnya supplier atau business partner. Hal yang sama terjadi juga dengan pihak lain misalnya regulator seperti SKK Migas atau departeman terkait lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup ataupun Depnaker.

Faktor no 5 ini akan sangat signifikan diperbaiki jika setiap orang dalam industri migas mengaplikasikan system thinking secara total dalam melakukan bisnisnya. Bahwa, sebaik-baiknya perusahaan kita, hasilnya akan tidak baik jika supplierkita (yang men-supply orang, informasi, materials, jasa) tidak memberikan kualitas yang baik.  Sebaliknya, sebaik-baiknya supplier dan proses kita, tetap tidak akan banyak artinya jika customer atau regulator tidak happy. Memperbaiki sebuah bisnis membutuhkan seluruh komponen untuk bersatu padu. That’s system thinking!

The time is NOW!

Sebelum membahas show case, saya ingin menekankan lagi bagaimana harga minyak rendah ini justru menjadi momentum melakukan Lean Transformatiom untuk perusahaan di sektor migas.

Revolusi Lean pertama kali dipicu oleh krisis minyak di tahun 1973. Saat itu kondisi yang terjadi adalah kebalikan dari kondisi sekarang yaitu harga minyak membumbung tinggi. Salah satu industri yang kolaps saat itu adalah industri otomotif Amerika. Mobil-mobil besar dan boros ditinggalkan customer dan mulai beralih ke mobil-mobil dari Jepang yang jauh lebih murah, irit bahan bakar dan berganti model dengan cepat. Mobil-mobil yang diproduksi dengan spirit Lean adalah anti-thesis produksi masal warisan Ford dan Taylor yang sangat mengandalkan skala dan produksi besar.

Sekarang, dengan krisis minyak yang berbeda, dimana harga minyak menukik tajam, justru yang harus melakukan transformasi total adalah industri migas. Saatnya memeluk dan mengadaptasi konsep Lean sebagai sebuah filosofi manajemen untuk sektor migas di masa depan. Filosofi ini jauh lebih tepat untuk masa sekarang dalam profit margin yang tertekan dan kompetisi yang makin ketat.

Put on Production (POP): sebuah show case tentang Lean Transformation

Agar mudah membayangkan bagaimana perbedaan filosofi manajemen saat ini jika dibandingkan proses perusahaan migas yang mengadopsi Lean Transformation, saya akan menggunakan contoh salah satu core process di sektor migas yakni proses POP, yang didefinisikan sebagai proses yang dimulai dari sebuah rig selesai mengebor sumur lalu meninggalkan lokasi sampai dengan minyak/gas mengalir dari sumur tersebut.

A. Proses POP umumnya saat ini:

Salah satu proses yang sering menjadi concern utama dalam industri migas adalah POP karena berdampak langsung terhadap produksi. Interaksi saya dengan banyak pelaku industri migas di Indonesia dan juga dengan perusahaan di luar Indonesia mengkonfirmasi permasalahan yang cukup sering terjadi yakni lamanya waktu (long lead time) untuk POP.

Secara umum kondisi yang terjadi pada proses POP umumnya saat ini:

  • Terjadi banyak delay, waiting time, non productive time maupun kesalahan-kesalahan. Misalnya, saat rig sudah meninggalkan lokasi sumur, kru  piping tidak bisa melanjutkan pekerjaan karena perlu pekerjaan sipil terlebih dahulu (kondisi lokasi sudah hancur). Dan ternyata kru pekerjaan sipil tidak bisa masuk karena mengira kru drilling masih bekerja di lokasi (misalnya porta camp belum di angkut keluar atau peralatan lain masih bergeletakan di lokasi). Akhirnya terjadi delay yang bisa memakan waktu berhari-hari.
  • Usaha untuk melakukan perbaikan dari satu departemen hanya memindahkan bottleneck dari satu proses ke proses berikutnya. Misalnya saat dilihat bahwa pekerjaan sipil terkendala karena kurangnya alat-alat bantu (misalnya dozer), saat manajemen menambah dozer, ternyatabottleneck sekarang pindah di kru piping, misalnya kekurangan alat lifting(crane) ataupun welder. Saat itu ditambah, ternyata material piping yang menjadi kendala. Dan hal itu terjadi seterusnya.
  • Untuk mengatasi semua hal itu, perlu dilakukan banyak sekali meeting, koordinasi, dan ratusan email untuk memastikan semua berjalan. Sayangnya semua waktu koordinasi dan meeting itu tidak mampu mempercepat waktu POP.

Saya akan menggambarkan dalam diagram bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Saya bisa pastikan disini bahwa kebanyakan pelaku industri migas sudah bekerja keras, mengeluarkan tenaga dan pikiran ekstra untuk mengatasi hal ini. Namun secara desain proses bisnis, kerja keras ekstra itu tidak akan terbantu banyak karena optimasi yang dilakukan dalam proses saat ini adalah masih di levelindividual function, bukan optimasi di level overall system.

Gambar 1: Simplified Diagram untuk Proses POP Umum Saat Ini (functional strategy & optimization)

Seperti yang disampaikan di atas, kebanyakan proses di industri migas adalah kompleks dan memiliki spesialisasi yang tinggi. Bagian Drilling memiliki teknologi dan kemampuan yang sangat tinggi dalam bidangnya. Bagian Mechanical memiliki teknologi dan spesialisasi mereka. Hal yang sama juga untuk departemen Instrument/Control (I/C) ataupun Electrical. Mereka mengatur sendiri strategi dan jadwal berdasarkan analisa dan kebutuhan internal. Hal yang sama terjadi di bagian Piping, Civil, sampai bagian Produksi yang memiliki aset produksi (well). Bisa anda bayangkan bahwa dengan proses yang sangat kompleks dimana setiap departemen memiliki spesialisasi, jadwal, tim/kru, supplier dan inventory yang berbeda-beda akhirnya melahirkan sebuah proses yang berjalan lebih lama dari rencana, lebih malah dan memerlukan lebih banyak meeting untuk memastikan semua berjalan baik. Kita belum memasukkan faktor kontraktor/supplier dan bagian inventory/warehouse yang sering berada di luar kotak internal proses POP. Jangan lupa, gambaran di atas adalah versi yang sangat sederhana dari proses POP, sehingga keadaan riilnya jauh lebih kompleks dan jauh lebih tidak efisien dibanding gambaran ini. Semakin keras usaha optimasi di satu fungsi, justru semakin menyebabkan bottleneck di tempat lain. Sebuah opportunity yang luar biasa, apakah anda setuju?

B. Proses POP jika mengadopsi prinsip Lean management:

Pada dasarnya Lean Management bersandarkan pada filsosofi system thinkingdan melakukan harmonisasi antara Supplier-Input-Proses Internal-Output-Customer (SIPOC) dalam satu sistem yang terintegrasi. Dalam filosofi ini, optimasi keseluruhan sistem jauh lebih penting dibandingkan optimasi sub-proses atau bagian-bagian dari sistem. Bisa diimengerti jika setiap sistem yang berdasarkan Lean akan mengatur irama keseluruhan sistem dalam satu komando yang dipicu oleh customer side.

Bagaimana prinsip ini diaplikasikasikan dalam proses POP? Lihat simplified diagram di bawah ini:

Gambar 2: Simplified Diagram untuk POP yang menerapkan prinsip Lean (overall system optimization)

Mungkin dari dua gambar tidak terlalu jelas perbedaan antara Gambar 1 dan Gambar 2, atau ada pandangan ini hanya sekadar permainan gambar belaka. Bagian tricky dari pemahaman intisari Lean memang tidak mudah dijelaskan dalam gambar sederhana.  Namun ijinkan saya menyampaikan perbedaan mendasar antara dua diagram di atas:

1. Pada Gambar 1, setiap departemen mempunyai strategi, personel danscheduling sendiri-sendiri. Disini sering terjadi bottleneck karena tidak ada keseragaman jumlah resources (unbalance) yang akhirnya menimbulkan proses yang tidak efisien.  Pada Gambar 2, strategi dan scheduling dikontrol oleh satu PIC/komando berdasarkan target dan kecepatan dari sisi end customer (yaitu target kapan minyak/gas harus mengalir). Seluruh proses POP dikelola layaknya sebuah assembly line yang ritme-nya diatur oleh satu komando dimulai dari sejak proyek disetujui (AFE released) sampai minyak/gas benar-benar mengalir serta memasukkansupplier/inventory/contract planning sebagai bagian dari sistem. Departemen Drilling, Piping, I/C semua bergerak dengan sinkron dalam ritme yang sama sampai titik put on production terjadi.

2. Pada Diagram 1, setiap departemen melakukan usaha optimasi di level tim (departemen Drilling menghitung target dan kapasitas berdasarkan KPI Drilling, hal yang sama dilakukan oleh departemen Piping, dan seterusnya). Pada Diagram 2, dilakukan usaha optimasi di level sistem POP sebagai satu kesatuanvalue stream atau end-to-end process. Jika terjadi bottleneck, maka dilakukan evaluasi yang bersifat end-to-end bukan hanya usaha sporadis di level departemen.

3. Pada Diagram 1 antara satu departemen dan departemen yang lain tidak ada protokol dan visual status/schedule yang membantu integrasi dan sinkronisasi antar departemen. Pada Diagram 2, diadakan visualisasi schedule danstatus setiap progress sehingga keseluruhan proses POP menjadi semacam virtual factory atau virtual assembly line. Kemajuan teknologi informasi yang sudah ada saat ini memungkinan dibuatnya workflow dan visual collaborative tool yang menjadikan Lean Transformation ini memungkinkan terjadi dewasa ini (tidak harus menjadi assembly line secara fisik).

Salah satu kekhawatiran para pelaku di sektor migas adalah mendengar konsepassembly line dengan mengira hal itu menjadikan proses mereka seperti pabrik di dunia manufaktur yang akhirnya memunculkan anggapan hal itu tidak relevan dengan industri migas. Namun jika kita lihat dengan seksama,  sesungguhnyaassembly line itu memang ada mengingat banyaknya proses yang bersifat repetitive dengan sequence aktivitas dari unit satu ke yang lain; hanya saja tidak terlihat secara kasat mata karena faktor geografis dan nature of process di sektor migas dengan sebagian aset di bawah tanah ataupun secara lokasi tersebar sangat luas. Kemajuan teknologi informasi benar-benar membantu kita untuk melakukan hal yang dulu dianggap tidak mungkin dengan membuat virtual assembly line.

Berdasarkan pengalaman dengan scope dan tingkat sukses yang beragam dari berbagai proyek POP dimana saya pernah terlibat, manfaat melakukan transformasi ini adalah:

1. Pemangkasan lead time POP antara 25%-50%.

2. Pengurangan biaya dan inventory

3. Kepastian informasi (reliability and accuracy of information) yang sangat penting dalam mengelola aset migas.

Aplikasi Lean Transformation pada proses utama migas lainnya

Jika proses POP bisa kita kelola dalam prinsip yang sudah terbukti berhasil di berbagai sektor seperti tomotif, elektronik, rumah sakit sampai perbankan ini, maka dengan sangat yakin kita bisa menerapkan proses ini ke dalam proses-proses lain yang mempunyai karakteristik: merupakan core process dalam industri migas, bersifat repetitif, dan memerlukan koordinasi berbagai fungsi. Misalnya:

1. Proses pembuatan kontrak: dari pembuatan draft sampai kontrak efektif.

2. Proses pengadaan barang: dari pembuatan bill of materials (BOM) sampai barang diterima di lapangan.

3. Well Response Time: dari mendapatkan informasi well down sampai sumur bisa dihidupkan lagi

Masih banyak proses-proses lain yang bisa dikelola sebagai sebuah value streamdan bukan lagi dikelola dalam fungsi-fungsi yang terpisah (misalnya proses recruitment pegawai baru). Dengan melakukan transformasi ini secara bertahap dalam strategi yang terencana baik, perlahan-lahan sebuah perusahaan migas akan jauh lebih lincah, lebih cepat dan bisa memangkas biaya signifikan.

Tentu saja yang tidak boleh kita lupakan (dan tidak kita bahas disini) adalah semangat iterasi dan continuous improvement (kaizen) yang menjadi salah satu jiwa Lean management. Bahwa perubahan harus dimulai secara bertahap dan terus-menerus dengan menggunakan metode yang sistematis.  60% sameday is better than 90% someday…

Kesimpulan

Sebagai penutup dan kesimpulan, ini poin-poin yang bisa menjadi pemikiran atau diskusi bagi para pemangku kepentingan di sektor migas.

1. Necessity is the mother of invention: dalam sebuah kebutuhan untuk survival yang sangat mendesak, salad satu cara adalah melihat kemungkinan melakukan sesuatu yang selama ini dijalankan dengan skala kecil atau dengan keragu-raguan (seperti Lean management) menjadi sebuah prinsip yang dianggap sebagai strategi besar. Menjalankan metode lama bukanlah pilihan. Waktunya adalah sekarang.

2. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan: jebakan dalam implementasi Lean  yang sering salah dimengerti adalah karena di atas kertas tampak sangat sederhana dan mudah. Menerapkan prinsip Lean tidak semudah yang dibayangkan karena lebih bersifat perubahan budaya dibanding hanya menggunakan tool tertentu. Menggunakan single view scheduling dipadukan dengan value stream mapping sering sudah dianggap sebagai sebuah transformasi. Padahal tanpa komitmen para executive untuk merangkul filosofinya, benefit yang didapatkan tidaklah sustainable. Selain komitmen manajemen, perubahan mindset seluruh karyawan akan menjadi faktor utama untuk membuatnya menjadi riil, karena dalam transformasi Lean termasuk dalam lingkupnya adalah semangat system thinking, misalnya menjadikan supplier dan customer sebagai bagian dari sistem. Tidak mudah karena memerlukan komitmen dan kerja keras, tapi bisa dilakukan.

3. Systematic Continuous Improvement: walaupun transformasi perlu dilakukan dengan total, namun pendekatan untuk melakukan perubahan haruslah menggunakan metode yang sistematis dengan perubahan inkremental secara terus-menerus. Dengan demikian, setiap perbaikan sempat dievaluasi, dipelajari dan diperbaiki dalam perbaikan berikutnya. Learning organizationjuga menjadi pilar dalam Lean Transformation, bahwa setiap organisasi harus selalu mengevaluasi dirinya sendiri dan melakukan perbaikan secara terus-menerus menggunakan data dan sistematika.

Semoga tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan evaluasi bagi para pelaku di sektor migas.

Source : Gede Manggala

Photo : spdi.eu

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Whoops, you're not connected to Mailchimp. You need to enter a valid Mailchimp API key.

Inquiry