Pentingnya Employee Engagement/keterikatan karyawan dan teknologi dalam inovasi bisnis New Era

Pentingnya Employee Engagement/keterikatan karyawan dan teknologi dalam inovasi bisnis New Era

– Wawancara dengan Bapak Yumei Yumei Sulistyo, Board of Advisor Proxsis Consulting Group
– Artikel ini dimuat dalam majalah Pertamina Drilling Services Indonesia, edisi Juli 2021.

MANFAATKAN TEKNOLOGI AGAR TETAP TERIKAT

Tidak sedikit tantangan yang mengemuka tentang masifnya penggunaan teknologi dalam dunia kerja selama pandemi. Di sisi lain, teknologi justru menjadi satu strategi terbaik mengoptimalkan kinerja dan keterikatan karyawan.

Pertemuan secara fisik sejatinya merupakan salah satu media yang cukup ampuh untuk membangun ikatan emosional antara sesama manusia, termasuk di dunia kerja. Demikian ditegaskan Konsultan/Pengajar yang juga Manager Pengembangan Organisasi dan SDM di PPM Manajemen Rachmi Endrasprihatin.

Pendapat serupa diutarakan Human Capital & Legal Director Bina Nusantara (Binus) Harry Surya Adam. Menurutnya, tidak adanya kegiatan tatap muka membuat bonding antarkaryawan kurang merekat, apalagi untuk karyawan baru. “Tidak bisa ngobrol, selalu meeting pakai Zoom. Padahal kalau kita ketemu kan kita bisa menyapa satu per satu, itu yang mungkin kurangnya,” ujar Harry.

Inilah tantangan yang kini dihadapi hampir seluruh perusahaan dunia, atau paling tidak Indonesia. Protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 mengharuskan perusahaan menerapkan pola bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Kondisi ini, ditambahkan Rachmi, menghilangkan pertemuan fisik yang kemudian memengaruhi employee engagement atau keterikatan karyawan. “Sedikit banyak itu memang akan memengaruhi karena kita jadi jarang ketemu,” ucap Rachmi.

Untuk itu, agar Employee Engagement/keterikatan karyawan tidak semakin mengendur, Konsultan HR & Organization Development Sylvanus Hardianto menyarankan para atasan untuk sering menyapa anggota timnya. Bentuknya beragam, mulai dari menanyakan kabar, menanyakan tugas yang sedang dikerjakan, sampai menawarkan bantuan untuk mempercepat pekerjaannya. “Ketika itu terjadi secara rutin para pekerja mungkin tidak merasa ditinggal manajernya,” jelas Sylvanus.

Ditambahkannya, sapaan serta kepedulian atasan kepada bawahan memiliki efek psikis yang membuat karyawan merasa masih dianggap ada. Nguwongke uwong menurut istilah Jawa atau juga berarti memanusiakan manusia. “Hal-hal ini yang diharapkan akan menumbuhkan rasa percaya diri karyawan,” sambungnya.

Pemanfaatan Teknologi

Di sisi lain, pemanfaatan teknologi juga dapat dimaksimalkan untuk mempertahankan engagement antara perusahaan dan karyawan. Harry menjelaskan, sebelum pandemi Binus sudah mengimplementasikan sistem kerja secara online atau employee engagement sehingga tidak terlalu kaget ketika dipaksa WFH seperti sekarang. Lebih dari itu, Harry mengungkapkan, Binus juga telah melakukan persiapan sehingga hampir semua karyawan Binus (Binusian) kini sudah mempergunakan notebook.

Sebelum Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Binus pun sudah bisa melaksanakan kegiatan WFH untuk 65 persen Binusian. Ini berarti hanya 35 persen Binusian yang harus bekerja dari kantor. Penerapan pola kerja tersebut dinilai Harry tidak memiliki kendala yang berarti. “Kita tidak ada lagi proses yang masih manual, kita sudah pakai teknologi,
jadi secara teknis pengaruhnya minimal sekali,” ungkap Harry.

Untuk para karyawan yang melakukan work form office (WFO) alias datang ke kantor, sebelum adanya PPKM Darurat, Binus sudah mengoptimalkan office space yang ada sehingga kegiatan kerja tetap berjarak, guna menaati protokol kesehatan.

Binus juga punya kebijakan khusus untuk konsep hybrid working, yaitu bagi yang mendapat giliran WFO tidak diwajibkan datang ke kantor, melainkan bisa memilih kantor atau kampus Binus terdekat dari rumahnya sebagai kantor sementara. Hal ini untuk meminimalisasi perjalanan jauh dari rumah ke kantor yang potensial membuat Binusian terpapar COVID-19 karena bertemu banyak orang selama perjalanan.

Baca juga:

– Sertifikasi HR BNSP Dalam Peningkatan Karir Anda

Satu langkah lainnya, Harry menerangkan, manajemen Binus telah menyiapkan journey bagi Binusian yang mengadopsi konsep Customer Relationship Management (CRM).CRM yang memadukan proses, manusia, dan teknologi, biasa dipakai perusahaan untuk mencari kebutuhan dan perilaku pelanggan demi memberikan pelayanan optimal agar bisa mempertahankan hubungan yang sudah ada. “CRM kita terapkan buat karyawan, kita bikin journey-nya. Jadi yang memonitor, me-maintain, mengingatkan, menanyakan itu sudah sistem,” cerita Harry.

Harapannya, pola-pola yang terpantau dari Binusian bisa menjadi input yang dapat dikustomasi manajemen perusahaan agar dapat terus mengikat hubugan karyawan dan perusahaan lewat pengalaman yang menyenangkan selama dirinya bekerja di sana.

Pentingnya Adaptasi Karyawan dalam Employee Engagement

Adaptasi terhadap teknologi memang wajib dilakukan. Bukan hanya karena dunia kini telah memasuki era teknologi 4.0 atau bahkan 5.0, tetapi karena kondisi pandemi yang memaksa sekaligus mengakselerasi pemanfaatan teknologi. Board of Advisor Proxsis Consulting Group Yumei Sulistyo mengatakan, bekerja remote dengan kantor virtual perlu didukung adaptasi karyawan.

Mereka harus mampu memiliki kompetensi baru seperti bisa membuat laporan secara digital hingga mampu menggunakan dashboard untuk pekerjaan. Ironisnya, menurut Yumei, saat ini masih banyak perusahaan beserta pekerjanya yang masih sangat minim bersentuhan dengan teknologi. Ini tentu mengkhawatirkan, sebab jika para pekerja tersebut dipaksa harus WFH, maka dia seolah lepas sama sekali keterikatannya dari perusahaan. “Jelas pasti gagal perusahaan kalau dengan konteks berbeda, tetapi kompetensinya masih sama, perilakunya sama,” tegasnya.

Dalam demografi dunia kerja saat ini, kendati generasi milenial dan Gen Z sudah mulai menguasai, faktanya Generasi X ke atas yang secara umum kurang akrab dengan teknologi juga masih ada. Apalagi berdasarkan fakta di lapangan, Yumei mengungkapkan, banyak juga generasi milenial yang sebenarnya kurang akrab dengan teknologi. Sebaliknya banyak juga generasi X ke atas yang bisa menyesuaikan diri dan mau belajar memanfaatkan teknologi. Mindset yang mau berubah seperti ini yang dibutuhkan perusahaan. “Mengubah orang itu harus mengubah di level pikirannya dulu, baru muncul dalam perilaku, dan di-habit-kan lewat sistem, supaya orang konsisten dengan perilakunya sampai terbentuk karakter yang baru,” papar Yumei.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Whoops, you're not connected to Mailchimp. You need to enter a valid Mailchimp API key.

Inquiry